Jumat, 02 Oktober 2009

UNDANG – UNDANG PENDIDIKAN

Undang-Undang Pendidikan dari Masa ke Masa
KONTROVERSI soal Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional belum berakhir. Kita juga tidak tahu persis bagaimana nasib RUU itu, apakah akan disahkan secepatnya atau diperbaiki sebelum disahkan.
Untuk memberikan gambaran kepada pembaca tentang mutu RUU SPN, di bawah ini penulis mencoba membandingkannya dengan dua UU pendidikan sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran dan Pendidikan serta UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan membandingkan itu, pembaca dapat menarik kesimpulan sendiri apakah RUU SPN memang layak disahkan menjadi UU SPN atau perlu dicermati lagi secara jernih.
Mengingat ruangan ini sangat terbatas, maka hanya beberapa pasal pokok yang ingin dibandingkan.
Pertama, soal landasan atau asas pendidikan nasional. Pasal 4 UU No 4/1950 menyatakan, "Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam ’Panca Sila’ dan UUD Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia". Bandingkan dengan bunyi Pasal 2 UU No 2/1989 dan RUU SPN yang menyatakan "Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945".
Apa yang membedakan keduanya itu? Landasan UU No 4/1950 lebih menekankan pada substansi, yaitu pada "asas- asas yang termaktub" dalam Pancasila dan UUD serta memiliki corak kebangsaan. Sedangkan UU No 2/1989 maupun RUU SPN lebih menekankan pada legal formalnya.
Kedua, soal fungsi pendidikan. UU No 4/1950 tidak membicarakan fungsi pendidikan. Pasal 3 UU No 2/1989 menyatakan, "Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional". Sedangkan Pasal 3 RUU SPN menyatakan, "Pendidikan nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan kemampuan serta pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia".
Rumusan fungsi pendidikan dalam RUU SPN ini lebih lengkap dibandingkan dengan UU lainnya itu. Yang perlu diperdebatkan, menurut hemat saya, hanya soal redaksionalnya, yaitu mana yang lebih tepat: kata melalui diganti dengan untuk atau tetap begitu saja?

Menurut hemat saya, dengan kecerdasannya itu, seseorang dapat mengembangkan kemampuannya serta membentuk wataknya. Dan kata di tengah masyarakat dunia saya kira lebih baik dihapus agar tak mengesankan bombastis.
Ketiga, tujuan pendidikan nasional. Rumusan Pasal 3 UU No 4/1950 tentang tujuan pendidikan nasional itu amat sederhana, tetapi jelas dan tegas: "Tujuan Pendidikan dan Pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air". Sedangkan Pasal 4 UU No 2/1989 rumusannya adalah "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Bandingkan dengan rumusan RUU SPN yang sekarang sedang diperdebatkan, "Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa".
Menyimak ketiga rumusan di atas, pembaca dapat merenungkan, mana rumusan tujuan pendidikan nasional yang bisa menjawab kebutuhan bangsa dan negara yang sedang menuju ke masyarakat yang demokratis.
Keempat, pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga negara untuk memperoleh akses pendidikan serta tentang wajib belajar. Pasal 10 UU No 4/1950 menyatakan, 1) Semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah paling sedikit enam tahun lamanya; 2) Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar; 3) Kewajiban belajar itu diatur dalam UU yang tersendiri.
Pasal 5-8 UU No 2/1989 yang mengatur soal hak warga negara untuk memperoleh pendidikan tidak menyebutkan soal wajib belajar enam maupun sembilan tahun. Sedangkan dalam RUU SPN yang sekarang, mengenai hak dan kewajiban itu diatur dalam dua ayat yang beda pasal, yaitu Ayat 1 Pasal 7 yang menyatakan, "Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan", dan Ayat 1 Pasal 35 menyatakan, "Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar".
Bunyi Pasal 10 UU No 4/1950 lebih jelas dalam pengaturan soal hak dan kewajiban bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan, terutama berkaitan dengan wajib belajar, yaitu anak usia enam tahun berhak, sedangkan yang berusia delapan tahun wajib. Kata hak itu berbeda dengan dapat pada Pasal 35 RUU SPN. Hak itu melekat pada anak yang bersangkutan, sedangkan dapat masih mengandung persyaratan tertentu.

Kelima, menyangkut soal pendidikan agama. Dalam Pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. Pada UU No 2/1989 tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, "Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan. Penjelasan ini kemudian diangkat menjadi bunyi Pasal 13 Ayat 1 butir a dalam RUU SPN yang menyatakan, "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".

Kiranya jelas sekarang perbedaan antara UU No 4/1950, UU No 2/1989, dan RUU SPN. Dalam UU No 4/1950 itu yang diatur adalah pendidikan agama di sekolah negeri dan hak untuk menentukan pendidikan agama yang akan diikuti, itu pun berada pada orang tua murid, bukan pada sekolah atau negara. Sikap negara yang demokratis dan toleran itu juga tercermin di Pasal 16 tentang guru, bunyinya, "Di dalam sekolah guru-guru harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau aliran hidup". Di sini yang dihormati bukan hanya agama formal, tetapi aliran hidup yang lain pun dihormati.
Hal itu berbeda sekali dengan penjelasan Pasal 28 Ayat 2 UU No 2/1989 dan RUU SPN yang hanya membatasi pada agama formal yang diakui oleh pemerintah, mereka yang memiliki keyakinan lain tidak masuk hitungan. Seandainya rumusan Pasal 13 Ayat 1 butir a itu mengadopsi Pasal 20 UU No 4/1950, besar kemungkinan tidak timbul gejolak karena tak ada unsur intervensi negara, tetapi kewenangannya orangtualah yang dikedepankan.
Keenam, posisi sekolah swasta. Lahirnya Pasal 20 UU No 4/1950 yang demokratis itu tidak terlepas dari sikap pemerintah yang juga sangat demokratis terhadap keberadaan sekolah-sekolah swasta. Pasal 13 UU No 4/1950 itu menyatakan, 1) Atas dasar Kebebasan tiap-tiap warga negara menganut suatu agama atau keyakinan hidup, maka kesempatan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikulir; 2) Peraturan-peraturan yang khusus tentang sekolah-sekolah yang partikulir ditetapkan dalam undang-undang.
Dalam UU No 2/1989, pengakuan pemerintah terhadap keberadaan sekolah swasta itu terdapat pada Pasal 47 yang menyatakan, 1) Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional; 2) Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam RUU SPN sekarang, tidak ada pengakuan secara jelas terhadap posisi sekolah swasta. Kita hanya dapat meraba-raba mungkin ada pada Bagian Kedua tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat, seperti yang terumuskan dalam Pasal 56 Ayat 1-5. Ayat 1 itu menyatakan, "Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan pendidikan nonformal, sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat".
Namun, bunyi pasal ini jadi kabur bila kita lihat ketentuan umumnya yang berbunyi, "Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat".
Pengertian dalam ketentuan umum ini menimbulkan pertanyaan, apakah di dalamnya tercakup pendidikan alternatif yang diselenggarakan oleh LSM-LSM? Jika ya, di mana posisi sekolah swasta? Kecuali itu, kalau Pasal 56 ini berlaku, maka Pasal 13 Ayat 1 butir a tidak berlaku untuk sekolah-sekolah swasta keagamaan dan hanya berlaku untuk sekolah negeri atau swasta nasional. Sekolah swasta keagamaan berjalan berdasarkan Pasal 56 ini.
Pengakuan terhadap keberadaan sekolah swasta pada UU No 4/50 juga disertai dengan pemberian otonomi, seperti tercermin pada Pasal 26 Ayat 3 tentang hari libur sekolah yang menyatakan, "Sekolah-sekolah partikulir dapat mengatur hari liburnya sendiri dengan mengingat yang termaktub dalam ayat 1 dan 2 pasal ini". Ayat 1 yang dimaksud menyatakan, 1) "Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menetapkan untuk tiap jenis sekolah negeri hari-hari liburan sekolah, dengan mengisi kepentingan pendidikan faktor musim, kepentingan agama, dan hari-hari raya kebangsaan"; dan Ayat 2) "Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menetapkan untuk tiap jenis sekolah negeri jumlah sekurang-kurangnya daripada hari sekolah satu tahun".
DENGAN membandingkan beberapa pasal di atas, dapatlah pembaca mengambil kesimpulan sendiri mana UU pendidikan yang mampu mencerdaskan, mendemokratisasikan, menyusilakan, dan mendewasakan bangsa serta membawa keutuhan hidup berbangsa, apakah UU No 4/1950, UU No 2/1989, atau RUU SPN.
Masih ada beberapa pasal lain, termasuk soal pengawasan yang memperlihatkan UU No 4/1950 jauh lebih cerdas, demokratis, dan dewasa. Penulis tidak ingin mendorong kita kembali ke UU No 4/1950, tapi tidak ada salahnya beberapa pasal yang lebih bagus diambil daripada merumuskan baru, tetapi kabur dan bermasalah.
Membandingkan RUU SPN dengan dua UU pendidikan sebelumnya, kiranya lebih bermanfaat dan lebih konkret untuk dasar diskusi, sehingga kita terhindar dari cara berpikir "pokoknya" yang mengindikasikan kurang dewasa, karena "pokoknya" bukanlah argumentasi kaum terpelajar. Demikian pula soal kuantitas yang besar tidak otomatis mencerminkan kualitas yang tinggi.
rmaningtyas Pendidik dan Peneliti Pendidikan di Jakarta
Dari : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0306/09/opini/353860.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar