Selasa, 06 Oktober 2009

Amandemen UUD 1945


Amandemen Kelima UUD 1945



Oleh : Firdaus Arifin

Penulis adalah Analis Hukum Tata Negara, sedang studi di Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.

Perkembangan ide dan gagasan amandemen kembali terhadap UUD 1945, kembali mencuat dikalangan publik. Meski ide dan gagasan ini, merupakan sesuatu yang sangat mustahil untuk dilaksanakan dan direalisasikan dalam waktu dekat. Namun, perlu secara terus menerus direspon, guna dikembangkan dan diapresiasikan lebih jauh dalam rangka mencari dan menata sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Selain itu, untuk situasi dan konsidi sekarang diskursus mengenai wacana amandemen kembali terhadap UUD 1945 bukanlah sesuatu yang dapat dianggap tabu dan haram. Justru hal yang dapat dianggap tabu dan haram saat ini ialah mensakralkan kembali UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh rejim pemerintahan orde baru (Orba) di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto dengan jargon politiknya yang sangat terkenal yakni “melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen tanpa ada niat untuk merubahnya”.

Sebagaimana kita ketahui, amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945, adalah sebanyak 4 (empat) kali (tahun 1998 sampai 2002). Dan hasil amandemen UUD 1945 telah membawa implikasi pada perubahan yang cukup signifikan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Tetapi, bila kita berkontemplasi dan mengevaluasi secara komprehensif hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dapat dikatakan belum sepenuhnya menjadi problem solving bagi penyelesaian masalah ketatanegaraan yang diderita oleh bangsa Indonesia selama kurang lebih enam dasawarsa di bawah UUD 1945 sebelum amandemen. Selain itu, hasil amandemen UUD 1945 masih sangat jauh dari semangat reformasi mei 1998, yaitu semangat menuju kearah kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan semangat untuk menata kelembagaan negara serta hubungan antar lembaga negara yang sesuai dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbagi (check and balances). Jika dikaji secara mendalam, ada tiga faktor yang menjadi penyebab buruknya hasil amandemen UUD 1945 (1998-2002) yaitu, Pertama, MPR sebagai satu-satunya institusi negara yang mendapat mandat dari rakyat dan memiliki kewenangan untuk melakukan amademen UUD 1945 sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, pada waktu melakukan amandemen UUD 1945 tidak memiliki kejelasan paradigma perubahan dan kerangka kerja (framework), yang menyebabkan hasil amandemen UUD 1945 menjadi parsial, sepotong-sepotong dan tambal sulam. Kedua, kuatnya tarik-menarik kepentingan politik (political interest) dan tawar-menawar politik (bargaining politic) para elit politik dalam perumusan kaidah-kaidah yang akan dituangkan ke dalam pasal-pasal perubahan UUD 1945. Ketiga, minimnya keikutsertaan rakyat (public participation) dalam proses amandemen UUD 1945. Hal ini tampak dari kinerja MPR yang tidak maksimal dan sungguh-sungguh dalam memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam proses amandemen. Kalaupun ada, proses sosialisasi dan penjaringan/penyerapan aspirasi rakyat, semuanya hanya sekedar formalitas guna memenuhi mekanisme dan prosedur yang ada saja. Padahal, hal ini menjadi bagian paling penting dalam suatu proses amandemen UUD 1945 terutama dalam membangun sense of belonging dan keyakinan rakyat kepada hukum dasarnya.

Kini, empat tahun pasca amandemen UUD 1945 dan sejak diimplementasikannya hasil amandemen UUD 1945 dalam penyelenggaraan pemerintahan, berbagai problem ketatanegaraan muncul satu per satu ke permukaan, mewarnai kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai problem ketatanegaraan tersebut seperti, Pertama, dominannya kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang memunculkan superioritas DPR terhadap lembaga negara lain (DPR heavy). Kedua, ketimpangan kedudukan dan kewenangan antara DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) khususnya dalam hal pelaksanaan fungsi pembuatan UU (legislasi). Sebagai lembaga perwakilan kepentingan daerah, DPD hanya memiliki hak legislasi yang sangat terbatas yaitu hanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketiga, konflik kewenangan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) khususnya dalam hal masalah pengawasan terhadap hakim yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Keempat, konflik kewenangan antara presiden dan wakil presiden. Contoh teraktual ialah masalah pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2006 oleh Presiden Yudhoyono yang mengundang respon negatif dari Wapres Jusuf Kalla karena merasa tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan unit kerja tersebut oleh Presiden Yudhoyono.

Faktor utama yang menjadi penyebabnya tak lain bersumber dari UUD 1945 itu sendiri. Meski sudah dilakukan amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 dengan tujuan guna menutup berbagai celah dan kelemahan yang dimilikinya pada masa lalu, bukan berarti UUD 1945 setelah amandemen memiliki garansi bebas dan steril dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Bahkan dapat dikatakan UUD 1945 hasil amandemen, menyimpan sejumlah “bom waktu” dan perangkap yang bisa memunculkan masalah-masalah baru dalam ketatanegaraan di Indonesia dimasa datang.

Jika dicermati setidaknya terdapat tiga kelemahan yang dimiliki oleh UUD 1945 setelah amandemen yaitu, Pertama, UUD 1945 hasila amandemen memilik kelemahan dari segi teknik tata bahasa (grammatical) dan teknik penyusunan UU (legislative drafting). Ditinjau dari segi grammatical, UUD 1945 hasil amandemen memiliki sejumlah kelemahan yang dapat menimbulkan penafsiran yang multitafsir (multi interpretation). Sedangkan dari segi teknik legislative drafting, penempatan dan penambahan sejumlah pasal dalam UUD 1945 hasil amandemen sulit untuk dimengerti dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini tercermin dari muncul sejumlah pasal yang tidak lazim. Misalnya, untuk Pasal 22 ada Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B. Contoh pasal-pasal tersebut hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh kalangan terbatas, terutama oleh kalangan legislatif dan sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang legislative drafting. Kedua, ketidakjelasan konsep lembaga perwakilan yang dianut oleh UUD 1945 hasil amandemen. Perlu diketahui, hingga saat ini masih terjadi silang pendapat diantara para ahli hukum tata negara mengenai konsep lembaga perwakilan yang dianut oleh UUD 1945 hasil amandemen. Ada yang mengatakan sistem satu kamar (unicameral system), sistem dua kamar (bicameral system), bahkan ada juga yang menyatakan sistem tiga kamar (three cameral system). Selain Itu, sistem parlemen bikameral yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances antara kedua kamar di parlemen. Ketiga, konsep pendistribusian kekuasaan (distribution of power) lembaga negara yang dianut oleh UUD 1945 hasil amandemen tidak proporsional, hal ini tercermin dalam dominannya peran kekuasaan DPR dibandingkan dengan kekuasaan yang dimiliki lembaga negara lainnya. Berpijak pada berbagai kelemahan di atas, tak ada alternatif lain, jalan keluar yang mesti dipilih saat ini ialah melakukan perombakan dan penyempurnaan atas hasil amandemen UUD 1945. Jika kita menyimak ke belakang, sebenarnya upaya untuk menyempurnakan hasil amandemen UUD 1945 buah karya MPR ini, pernah dilakukan pada tahun 2002 lalu, melalui pembentukan Komisi Konstitusi yang dibentuk oleh MPR, yang dituangkan ke dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Namun, dalam perkembangannya hasil kerja Komisi Konstitusi selama tujuh bulan berupa draft Naskah Akademik Kajian Komprehensif tentang Amandemen UUD 1945, hanya diterima saja oleh MPR tanpa ada follow up yang jelas atas hasil kajian tersebut. Saat ini, pasca kandasnya draft hasil kajian Komisi Konstitusi, untuk menyelesaikan persoalan tersebut, langkah yang dapat dilakukan ialah melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945. Langkah ini adalah merupakan langkah yang paling tepat dan konstitusional untuk dipilih saat ini. Sekalipun langkah ini, merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk direalisasikan, karena faktor kondisi dan situasi politik serta political will dan political action dari MPR amat sangat menentukan dapat tidaknya terealisasinya gagasan amandemen kelima terhadap UUD 1945. Untuk kita berharap kesadaran semua pihak dan seluruh elemen bangsa Indonesia, terutama para elit politik di Senayan yang saat ini sedang memegang dan mengendalikan kekuasaan negara, untuk dapat segera merespon dan merealisasikan gagasan ini. Karena jika tidak, bangsa Indonesia tidak akan pernah selesai menata sistem ketatanegaraannya. Mari kita tunggu.***

Tulisan ini juga dimuat di Kolom Majalah Forum Nomor 35 Edisi 8-15 Januari 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar