Kamis, 01 Oktober 2009

Sri Mulyani: Nonsens Saya Mengambil Untung

Sri Mulyani: Nonsens Saya Mengambil Untung (Bagian 1)


TEMPO Interaktif, Jakarta - Posisinya tepat berada di tengah pusaran kasus Bank Century. Sebagai Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, ia memiliki wewenang memutuskan menyelamatkan atau mematikan sebuah bank. Menteri Keuangan Sri Mulyani memilih opsi pertama untuk Bank Century, yang tengah kolaps, November tahun lalu.

Keputusan Menteri Keuangan bersama Gubernur Bank Indonesia dan anggota Komite itu belakangan mengundang silang pendapat. Pihak yang mendukung keputusannya menilai "kematian" Century saat itu bisa menyeret perbankan Indonesia ke dalam krisis yang lebih besar.

Pihak yang menghujaninya dengan kritik mempertanyakan ongkos penanganan bank yang terus menggelembung. Dari semula hanya Rp 632 miliar hingga melesat menjadi sepuluh kali lipatnya, yakni Rp 6,762 triliun. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga merasa tak mendapat laporan tentang membengkaknya suntikan modal ke Century.
Berbagai rumor menyebar, termasuk tudingan Century dipertahankan demi menyelamatkan nasabah kakap. "Itu nonsens," katanya. Dua hari menjelang Idul Fitri tempo hari, Sri Mulyani menerima Toriq Hadad, Metta Dharmasaputra, Padjar Iswara, dan Sapto Pradityo dari Tempo di rumah dinasnya. Berikut ini petikan wawancara dengannya:

Kapan tepatnya Menteri Keuangan mengetahui masalah Century?

Saya tahu pada 13 November (tahun lalu), ketika Century mengalami masalah kliring pertama. Saat itu saya di Washington, Amerika Serikat, mendampingi Presiden. Walaupun ada Menteri Keuangan ad-interim, Sofyan Djalil, Gubernur Bank Indonesia Boediono tetap ingin bicara langsung dengan Menteri Keuangan. Tatkala kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sangat tipis akibat tekanan krisis global, konsultasi ini diperlukan. Apalagi ketika itu semua negara tetangga sudah menerapkan penjaminan penuh.

Anda segera melapor ke Presiden?

Saat itu juga saya menyampaikannya ke Presiden. Walaupun kami belum tahu masalah Century ini akan mengarah ke mana, yang jelas kepercayaan masyarakat sedang sangat tipis. Presiden meminta saya kembali ke Indonesia dan menangani masalah ini dengan hati-hati. Pada 16 November, Bank Indonesia melapor lagi, Century kembali kalah kliring. Keresahan masyarakat ditunjukkan dari migrasi dana dari 23 bank kecil yang seukuran dengan Century ke bank-bank besar. Jadi, situasi ditengarai sistemik.

Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan pada 20-21 November 2008, pemerintah semula tak menyetujui penyelamatan Bank Century. Kenapa kemudian berubah?
Apa yang terjadi pada 21 November 2008 tak bisa dipisahkan dari situasi sejak September. Setelah Lehman Brothers ditutup dan AIG kolaps, tiba-tiba krisis menjadi sistemik secara global dan tak terkontrol. Suasana krisis saat itu sangat dominan. Lobi supaya pemerintah memberikan jaminan sepenuhnya atas simpanan di bank atau blanket guarantee sangat kuat. Kenapa sebulan sebelum kasus Century pemerintah menerbitkan tiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), itu bukan karena Century, tapi karena dipaksa kondisi. Bahwa penjaminan simpanan hingga Rp 100 juta tak lagi mampu memberikan ketenangan, maka dinaikkan menjadi Rp 2 miliar. Semua itu menunjukkan pemerintah sangat peduli pada krisis.

Jadi sikap pemerintah dalam soal dampak sistemik ini solid?
Memang ada rumor yang berseliweran bahwa kami semula tak setuju kemudian menjadi setuju. Bisa saya katakan, dari semua staf saya tak ada ketidaksetujuan. Kenapa malam itu Bank Mandiri juga ikut, karena memang ada skenario apakah mungkin Mandiri dititipi nasabah Century. Tapi, kalau dalam rapat itu semua orang mempertanyakan, mengkritisi, mengetes, itu merupakan bagian untuk menguji dan mendapat ide bagaimana menangani situasi. (Bersambung)

http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/09/28/brk,20090928-199626,id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar