Sabtu, 03 Oktober 2009

BUAH-BUAHAN TANAMAN TAHUNAN

BUAH-BUAHAN TANAMAN TAHUNAN

Yang dimaksud sebagai buah-buahan tanaman tahunan (juga sering disebut tanaman keras) adalah: mangga, jeruk, durian, rambutan manggis, duku, salak, nangka, sirsak, sawo, apel, anggur, lengkeng, jambu air, jambu biji, belimbing dan beberapa buah lain yang nilai komersialnya tidak terlalu tinggi. Buah-buahan tanaman tahunan yang sudah dikebunkan dalam skala komersial adalah jeruk, mangga, durian, salak dan apel. Lainnya masih merupakan tanaman rakyat yang tersebar di pekarangan maupun maupun ladang. Secara nasional, volume produksi buah-buahan kita, baik yang tanaman tahunan maupun yang tanaman semusim, relatif masih seimbang dengan tingkat konsumsi nasional. Jumlahnya sekitar 8 sd. 9 juta ton per tahun. Namun kuantitas yang sudah relatif baik tersebut masih belum diimbangi oleh kualitas maupun kontinuitas pasokan yang memadai. Karenanya, buah-buahan yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat adalah buah-buahan tanaman semusim. Terutama semangka dan melon. Atau buah-buahan antara, yang bukan katagori tanaman tahunan, tetapi juga bukan merupakan tanaman semusim. Misalnya pepaya, nanas dan pisang.

Resiko yang akan dihadapi oleh para petani buah-buahan tanaman semusim maupun katagori antara, relatif cukup besar jika dibanding dengan buah-buahan tanaman tahunan. Petani semangka serta melon misalnya, bisa menikmati keuntungan besar, tetapi bisa juga seluruh modal yang telah diinvestasikannya habis karena gagal panen. Hal demikian tidak akan pernah terjadi pada buah-buahan tanaman tahunan. Sebab gagal panen pada musim buah tahun ini, akan bisa ditebus oleh panen besar pada tahun berikutnya. Resiko seluruh areal kebun hancur karena hama serta penyakit, sangat kecil pada tanaman tahunan. Karenanya, berkebun buah-buahan tanaman tahunan dalam skala komersial, sebenarnya jauh lebih aman dibanding dengan tanaman semusim maupun tanaman antara. Kelemahan komoditas buah-buahan tanaman tahunan adalah, grace period yang dibutuhkannya cukup panjang. Sementara musim panennya paling banyak 3 kali dalam setahun (jambu air, jambu biji, belimbing, jeruk dan salak), 2 kali (apel, anggur, lengkeng) atau hanya satu kali (mangga, durian, rambutan, duku manggis).

Bertanam buah-buahan tanaman tahunan, sebenarnya relatif lebih menguntungkan jika dibanding menanam komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) atau tanaman semusim lainnya. Apabila kebun buah tanaman tahunan tersebut akan dikelola sendiri, maka populasi dan luas minimal tidak ada. Seseorang bisa menanam mangga satu pohon, dua pohon atau sepuluh pohon di kebunnya. Kalau dia menanam mangga sampai satu atau dua hektar, tentu akan makin efisien dan efektif. Tetapi kalau kebun buah tanaman tahunan itu akan dikelola secara serius dengan melibatkan tenaga profesional, maka luas minimalnya sekitar 10 hektar. Skala luasan tersebut berlaku untuk mangga, durian, manggis, rambutan dan tanaman pohon lain yang jarak tanamnya 10 X 10 m atau 8 X 12 m dengan populasi tanaman 100 pohon per hektar atau tanaman 1.000 pohon per hektar. Pada tanaman jeruk siam, anggur, apel dan salak, yang jarak tanamnya bisa 5 X 4 m, atau malahan ada yang 2,5 X 4 m hingga populasi tanaman per hektar antara 500 sd. 1000 pohon, maka skala minimalnya cukup 2 atau malahan hanya 1 hektar saja.

Pengertian skala minimal dalam hal ini adalah, bahwa dengan pengelolaan modern yakni jarak tanam diatur, diberi pengairan, dipupuk dll, maka skala lebih kecil akan menimbulkan disefisiensi. Kecuali kebun tersebut akan dikelola sendiri (tidak mengupah tenaga profesional secara permanen). Semakin luas kebun yang dikelola, tentu akan semakin efisien. Meskipun ada juga batas maksimalnya. PT Perkebunan Nusantara misalnya, mengambil patokan, sebuah kebun yang homogen (mengelola satu jenis tanaman) baru akan efektif dan efisien dikelola dalam satu manajemen (satu administratur), apabila luasan maksimalnya antara 3.000 hektar. Itu pun masih harus dipecah dalam beberapa afdeling (bagian kebun) di bawah satu kepala afdeling yang di perkebunan biasa disebut sinder. Lebih luas dari 3.000 hektar, sebaiknya dipecah menjadi dua administratur atau lebih.

Benih (bibit) tanaman buah tahunan dengan tinggi 1 m, rata-rata berharga sekkitar Rp 20.000,- per tanaman. Tinggi rendahnya harga tergantung dari jenis buah tersebut, berdasarkan besarnya permintaan dan ketersediaan pasokan. Misalnya, jenis mangga gadung dan harummanis, meski sudah diproduksi secara massal, tetap bernilai jual tinggi dibanding mangga golek. Tetapi benih tanaman buah yang sangat spesifik dan langka juga bisa bernilai jual tinggi, misalnya mangga-mangga introduksi baru seperti Nam Dok Mai dari Thailand. Dengan populasi 1.000 tanaman per 10 hektar, maka dana yang akan diserap oleh benih Rp 25.000.000,- Biaya tanam meliputi pembuatan lubang dan penanamannya sendiri sekitar Rp 5.000.000,- Land clearing (untuk lahan yang belum dibuka, dengan tingkat kesulitan sedang) Rp 25.000.000,- Biaya pupuk dasar Rp 5.000.000,- Hingga biaya untuk penanaman tanaman buah tahunan skala minimal 10 hektar Rp 60.000.000,- Biaya paling tinggi adalah untuk investasi pengadaan air, yakni Rp 200.000.000,- untuk pembangunan deep well dengan tower dan sarana irigasinya. Kebun buah-buahan tanaman keras skala 10 hektar, sudah memerlukan rumah penjaga, gudang, instalasi listrik, administrasi dll. yang total biayanya bisa mencapai Rp 150.000.000,- Hingga nilai investasi dan modal kerja sampai dengan menghasilkan, diperkirakan sekitar Rp 500.000.000,-

Kalau modal tersebut merupakan pinjaman komersial dengan tingkat suku bunga 20% per tahun, maka pada tahun II pinjaman akan menjadi Rp 600.000.000,- Pada tahun III menjadi Rp 720.000.000,- Pada tahun IV Rp 864.000.000,- dan tahun V sudah menjadi Rp 1.036.800.000,- Hingga suku bunga yang harus ditanggung pada tahun VI sudah mencapai Rp 207.360.000,- Kalau nilai buah-buahan yang kita tanam Rp 5.000,- per kg. maka untuk menanggulangi pembayaran bunga pinjaman, pada tahun VI tersebut sudah harus dihasilkan 41.472 kg. atau per tanaman menghasilkan buah minimal 41,5 kg. Kalau yang ditanam durian dengan bobot buah 3 kg, maka pada tahun tersebut per tanaman harus sudah mampu menghasilkan minimal 14 buah per tanaman. Kalau mangga dengan bobot buah 0,25 kg maka per tanaman harus menghasilkan 168 butir buah. Angka ini masing sangat rasional, sebab dengan pengairan yang baik, tanaman mangga dengan bibit setinggi 1 m, sudah akan berproduksi pada umur tanam 3 tahun. Pada umur 4 tahun produksinya sudah bisa dijual. Hingga pada tahun VI sudah akan bisa menghasilkan cukup dana untuk pembayaran bunga dan cicilan pinjaman. Berarti, pinjaman untuk kebun buah-buahan tanaman tahunan, minimal harus diberi grace period selama 5 tahun.

Kebun buah tanaman tahunan yang dikelola secara komersial demikian, rata-rata akan menghasilkan buah kualitas A dan super yang di tingkat petani pun sudah bisa dijual dengan harga Rp 10.000,- per kg. Durian monthong malahan bisa dijual di kebun dengan harga di atas Rp 15.000,- per kg. Buah-buahan seperti belimbing, jeruk siam, jambu air, anggur dan salak, malahan sudah akan mampu menghasilkan buah pada umur 2,5 tahun. Dengan harga buah Rp 10.000 per kg, pada tahun ketiga, pada waktu kewajiban pembayaran bunga mencapai Rp 144.000.000,- maka kewajiban tersebut sudah bisa ditutup dengan hasil buah 14.400 kg. Dengan populasi tanaman mencapai 10.000 tanaman per 10 hektar, maka biaya bunga tersebut akan tertutup apabila tiap individu tanaman mampu berbuah 1,440 kg. atau dibulatkan menjadi 1,5 kg. Angka tersebut dengan mudah akan bisa dicapai pada tahun III tersebut. Tahun IV, hasil buah sudah akan meningkat dua kali lipatnya. Hingga selain bisa membayar bunga, pada tahun tersebut petani sudah bisa mulai mengembalikan pinjaman, minimal senilai Rp 100.000.000,- Pada tahun V, bunga pinjaman akan menyusut hingga tinggal Rp 124.000.000,- dan seterusnya. Dengan suku bunga yang terus menyusut padahal hasil buah akan terus meningkat, sebenarnya BEP sudah akan bisa dicapai pada tahun VIII.

Tentu ada pertanyaan, bagaimanakah dengan prospek pasarnya? Kalau kita lihat tingkat konsumsi buah kita yang baru sekitar 40 kg per kapita per tahun, sementara standar minimal FAO 60 kg per kapita per tahun, maka peluang pasar itu masih sangat longgar. Lebih-lebih mengingat angka impor buah kita yang pada tahun terakhir mencapai 230.000 ton per tahun. Kalau angka tersebut kita terjemahkan dalam bentuk satuan hektar tanaman buah tahunan dengan hasil per hektar 50 ton, maka sebenarnya angka impor itu bisa kita tutup dengan pembukaan kebun buah tanaman tahunan seluas 4.600 hektar. Kalau angka konsumsi versi FAO yang kita jadikan patokan, kita malahan masih berpeluang untuk membuka kebun buah-buahan seluas 80.000 hektar. Tetapi nilai investasi yang diperlukan untuk membuka kebun buah tersebut juga sangat besar. Yakni Rp 230.000.000.000,- (duaratus tigapuluh milyar rupiah) untuk menutup kekurangan yang selama ini diekspor, dan Rp 4.000.000.000.000,- (empat trilyun rupiah) untuk menyesuaikan tingkat konsumsi buah nasional kita sesuai dengan standar FAO. Kalau tiap hektar kebun buah harus ditangani oleh dua tenaga kasar, maka tenaga kerja yang bisa diserap sudah mencapai 9.200 orang (untuk menanggulangi impor) dan 160.000 orang untuk memenuhi standar FAO. Namun mata rantai kebun buah juga akan menyangkut perdagangan, transportasi, dll. hingga dampak kegiatan ekonomi akibat pembukaan kebun buah tersebut akan sangat besar. (R) ***


Source : http://foragri.blogsome.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar